D. Vaksin dan Vaksinasi

A vaccine is a biological preparation that establishes or improves immunity to a particular disease.

Vaccines can be prophylactic (e.g. to prevent or ameliorate the effects of a future infection by any natural or “wild” pathogen), or therapeutic (e.g. vaccines against cancer are also being investigated; see cancer vaccine). The term vaccine derives from Edward Jenner‘s 1796 use of the term cow pox (Latin variolæ vaccinæ, adapted from the Latin vaccīn-us, from vacca cow), which, when administered to humans, provided them protection against smallpox. he early vaccines were inspired by the concept of variolation originating in China, in which a person is deliberately infected with a weak form of smallpox as a form of inoculation. Jenner observed that milkmaids who had contact with cowpox did not get smallpox. He discovered that deliberate vaccination with cowpox (which has very mild effect in humans) would prevent smallpox (which is often fatal). Jenner’s work was continued by Louis Pasteur and others in the 19th century. Since vaccination against smallpox was much safer than smallpox inoculation, the latter fell into disuse and was eventually banned in England in 1849.

The 19th and 20th centuries saw the introduction of several successful vaccines against a number of infectious diseases. These included bacterial and viral diseases, but not (to date) any parasitic diseases.

Pengendalian penyakit hewan adalah suatu upaya mengurangi interaksi antara hospes agent (penyebab penyakit) sampai pada tingkat dimana hanya sedikit hewan yang terinfeksi, karena jumlah agen penyakit telah dikurangi atau dimatikan, oleh sebab hospes telah dilindungi dan atau atau infeksi pada hospes dapat dicegah. Salah satu cara untuk melakukan pengendalian terhadap penyakit adalah dengan melakukan upaya pencegahan penyakit diantaranya dengan melakukan vaksinasi.

Tujuan vaksinasi adalah memberikan kekebalan (antibodi) pada ternak sehingga dapat melawan antigen atau mikroorganisme penyebab penyakit. Vaksinasi adalah pemberian antigen untuk merangsang system kebal menghasilkan antibody khusus terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan protozoa.

http://en.wikipedia.org/wiki/Vaccine

Sejarah.

Imunologi: (immunis : bebas, logos:ilmu), ilmu yang mempelajari system pertahanan tubuh.

Tahap Empirik:

Mithridates Eupatoris VI seorang raja dari Pontis Yunani, (132 – 63 SM) dianggap ahli imunologi pertama. Cara: meminum racun sedikit demi sedikit sehingga orang menjadi kebal terhadap racun. Dikenal dengan paham mithridatisme. Pada abad ke 12, bangsa Cina mengenali bgmn mengatasi penyakit cacar. Cairan atau kerak dari orang yang terkena cacar tapi tidak berat apabila dioleskan pada kulit orang sehat dapat melindungi terhadap cacar. Begitu pula orang timur tengah menggoreskannya pada orang dengan membubuhkan bubuk pada penderita cacar yang tidak parah akan melindungi keadaan yang lebih parah. Metode ini dikenal dengan: tindakan variolasi. Dr Edward Jenner (1749 – 1823), menggunakan bibit penyakit cacar dari sapi untuk ditularkan pada manusia. Mulailah penggunaan vaksinasi untuk menggantikan istilah variolasi. Vacca: sapi.

Tahap Ilmiah

Louis Pasteur dkk (1822 – 1895), meneliti kemungkinan pencegahan penyakit dg cara vaksinasi melalui penggunaan bibit penyakit yang telah dilemahkan terlebih dahulu. Pada waktu itu digunakan untuk mengatasi penyakit kholera yang disebabkan Pasteurella aviseptica. Pfeifer (1880) murid Koch meneliti Vibrio cholerae untuk mengatasi wabah penyakit kholera. ¨ Elie Metchnikof (1845 – 1916) mengungkapkan bagaimana mekanisme efektor bekerja dalam tubuh terhadap benda asing. Memperkuat pendapat Koch dan Neisser. Adanya mekanisme efektor dari sel leukosit untuk mengusir bakteri dinamakan proses fagositosis. Sel tubuh yang memiliki kemampuan fagositosis dinamakan fagosit. Fodor (1886), ilmuwan pertama yang mengamati pengaruh langsung dari serum imun tehadap mikroba tanpa campur tangannya komponen seluler. Penemuan ini diperkuat oleh Behring dan Kitasato (1890) yang menunjukkan bahwa serum dapat menetralkan aktifitas tetanus dan difteri. Jules Bordet (1870 – 1961) mengemukakan bahwa untuk lisis diperlukan 2 komponen yang terdapat dalam serum imun. Sebuah diantaranya bersifat termostabil yang dikemudian hari ternyata adalah antibody sedangkan komponen lainnya bersifat termolabil yang dinamakan komplemen. Pada saat itulah mulai diperkenalkan istilah antigen untuk memberikan nama bagi semua substansi yang dapat menimbulkan reaksi dalam tubuh terhadapnya. Dan juga istilah antibody untuk substansi dalam serum yang mempunyai aktifitas menanggulangi terhadap antigen yang masuk ke tubuh.


Penemuan oleh Fodor mengawali penelitian untuk mendukung teori mekanisme melalui imunitas humoral. Wright dan Douglas (1903), mengatakan proses fagositosis akan dipermudah apabila ditambahkan serum imun. Bahan yang diduga dikandung dalam serum itu dinamakan opsonin. Jadi mekanisme efektor seluler dan humoral bersifat saling memperkuat. Pada saat bersamaan ditemukan fenomena lain dalam imunologi yaitu adanya penyimpangan dalam tubuh seseorang karena bereaksi terlalu peka. Pirquet membedakan fenomena tsb dalam bentuk “serum sickness”, alergi dan anafilaksis.

Sampai Tahun 1940- an banyak dilakukan penelitian tentang aplikasi    dan pengembangan tentang fenomena imunologi khususnya dalam penyediaan serum imun (anti tetanus, anti rabies dll), reagen untuk diagnostik dan program vaksinasi. Felton, menemukan fenomena lain yaitu bahwa dalam tubuh mungkin dapat timbul tidak adanya respon imun terhadap suatu subtansi atau antigen tertentu. Fenomena ini disebut toleransi imunologik. Felton berhasil memurnikan untuk pertamakalinya antibody dari antiserum kuda terhadap pneumococcus.

Leave a comment